
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas
Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
Banyak di antara kita yang memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana Tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada taqlid dan ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran menjadi tak bertuah bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang sejatinya paling dilawan oleh Islam).
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
Banyak di antara kita yang memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana Tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada taqlid dan ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran menjadi tak bertuah bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang sejatinya paling dilawan oleh Islam).
Secara praksis, menurut Hassan
Hanafi, teologi yang diyakini secara dogmatik tak mampu menjadi
"pandangan yang benar-benar hidup" yang memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan doktrin
teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritis
dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya akan
menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau "sinkretisme kepribadian".
Fenomena sinkretis ini tampak jelas, menurut Hassan Hanafi, dengan
adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional
dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik),
Konservatisme dan progresifisme (dalam sosial), serta kapitalisme dan
sosialisme (dalam ekonomi).
Melihat efek regresif dari teologi
dogmatik yang hari ini menjadi mainstreem utama dalam khasanah teologi
Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam, meniscayakan perlunya
digagas suatu konstruk teologi Islam yang mampu menjawab
persoalan-persoalan umat Islam, perlu dikonstruk teologi yang mempu
memantik spirit, menjadi inspiring, dan menjadi pandangan dunia yang
membebaskan umat Islam dari keterjajahan, keterbelakangan, dan
keterbodohan. Rekonstruksi teologi Islam adalah satu hal yang sangat
urgen dalam rangka pembenahan kondisi umat Islam menuju keadaan yang
lebih baik. Teologi islam yang lebih bercorak liberasi (membebaskan)
adalah corak teologi yang sangat dibutuhkan dalam menjawab kondisi
kekinian umat Islam yang terpuruk pada keterbelakangan dan
ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka menyusun format
kerangka teologi yang bersifat liberasi sangat dibutuhkan penafsiran
baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash suci
(Alquran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka
teologi yang konstruktif bagi umat Islam.
Menurut Toshio
Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang memiliki relevansi dalam
menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul dalam perjalanan
manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah
norma kehidupan yang sempurna dan mampu beradaptasi pada setiap bangsa
dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal yang
menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh suasana aktivitas kemanusiaan
tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau aktivitas duniawi.
Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan.
Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran
umat Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam
peradaban. Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara
dimensi transenden (spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas
ilahiyah yang transenden dengan realitas alam dan manusia yang imanen
tak memiliki keterpisahan yang kaku sehingga harus diposisikan secara
biner. Dalam pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi teologi yang
akhirnya menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang
bersifat unipolar dan uniaxial.
Secara universal, seluruh aspek
kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam "jaringan
relasional Islam". Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia
Tauhid, yang mencakup aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan
material, individual dan sosial. Jaringan relasional Islam ini akhirnya
teruji dalam bentuk praksis ibadah ritual yang merupakan kewajiban
yang mesti dijalankan oleh umat Islam. Selain itu, perlu digagas relasi
Tauhid dan pembebasan, implementasi Tauhid dalam konteks penindasan, dan
masyarakat seperti apa yang diinginkan dalam konteks Tauhid.
Ali Syari'ati merupakan salah seorang tokoh intelektual muslim abad
modern yang concern pada tema-tema pembebasandari agama. Berbasis
pandangan dunia Tauhid beliau menjadi propagandis yang membakar semangat
anak muda Iran di tahun 1970-an untuk bangkit melawan penindasan rezim
Pahlevi. Tak bisa dipungkiri, beliau adalah salah seorang tokoh teologi
pembebasan Islam, yang bahkan mempersembahkan nyawanya untuk misinya
tersebut.
( sumber: forum.republika.co.id )
No comments:
Post a Comment